Beranda | Artikel
Keselamatan dan Ketenangan Hidup dengan Sifat Taghaful
Rabu, 7 Desember 2022

Pertanyaan:

Mohon penjelasannya tentang sifat taghaful. Apa yang dimaksud dengan taghaful? Jazakumullah khayran.

Jawaban:

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in, amma ba’du.

Taghaful secara bahasa artinya pura-pura tidak tahu. Dalam Mu’jam Al Wasith disebutkan:

تَغَافَلَ أَرى من نفسه أَنه غَافلٌ وليس به غفلة

Taghafal artinya menampakkan kepada orang lain seolah-olah dirinya tidak tahu, padahal tidak demikian”.

Tentu saja, pura-pura tidak tahu itu ada yang terpuji dan ada yang tercela. Namun para ulama ketika menyebutkan sifat taghaful, yang mereka maksud adalah pura-pura tidak tahu yang terpuji. Para ulama menyebutkan bahwa sifat taghaful adalah akhlak mulia.

Sifat taghaful yang dimaksud para ulama di atas adalah dengan melakukan tiga perkara:

1. Tidak mencari-cari kesalahan orang lain yang belum diketahui

2. Memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain yang telah berlalu

3. Memaklumi kekeliruan anak kecil, serta orang yang jahil dan awam

Ibnu Azraq rahimahullah juga menyebutkan:

إن من السخاء والكرم ترك التجني، وترك البحث عن باطن الغيوب، والإمساك عن ذكر العيوب، كما أن من تمام الفضائل الصفح عن التوبيخ، وإكرام الكريم والبشر فب اللقاء ورد التحية، والتغافل عن خطأ الجاهل

“Bentuk kedermawanan dan sifat murah hati adalah:

  • Tidak suka mudah menuduh orang berbuat buruk
  • Tidak suka mencari-cari kesalahan yang tersembunyi
  • Menahan diri untuk tidak menyebutkan aib-aib orang lain

Demikian juga, bentuk kesempurnaan akhlak seseorang adalah:

  • Berpaling dari para pencela
  • Suka memuliakan orang yang mulia
  • Berwajah cerah ketika bertemu orang
  • Suka membalas penghormatan
  • Taghaful (memaklumi) kesalahan orang yang jahil”

(Bada’i as Salak fi Thaba’i al Malak, 1/129).

Di antara dalil yang menunjukkan terpujinya sifat taghaful adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا 

“Janganlah kalian melakukan tahassus, jangan melakukan tajassus, jangan saling hasad, jangan saling membelakangi, dan jangan saling benci. Jadilah kalian bersaudara, wahai para hamba Allah!” (HR. Al-Bukhari, no. 6064, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tajassus dan tahassus. Tajassus itu mencari-cari kesalahan dan aib dari seorang muslim lalu mengumpulkannya. Tahassus itu mengorek-ngorek hal yang tersembunyi dari seorang muslim. 

Dari Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يا مَعْشَرَ مَن آمن بلسانِه ولم يَدْخُلِ الإيمانُ قلبَه ، لا تغتابوا المسلمينَ ، ولا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِم ، فإنه مَن تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيه المسلمِ ، تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَه ، ومَن تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَه ، يَفْضَحْهُ ولو في جوفِ بيتِه

“Wahai orang-orang yang baru beriman di lisannya, dan iman belum masuk pada hatinya. Janganlah kalian melakukan ghibah kepada sesama muslim. Dan janganlah kalian mencari-cari kekurangan sesama muslim. Karena siapa yang mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim, maka Allah akan menyingkap kekurangan-kekurangannya. Dan siapa yang Allah singkap kekurangan-kekurangannya, ia akan merasa malu dan terhinakan walaupun ia berada di tengah rumahnya” (HR. Abu Daud no.4880, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan maksiat itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat” (QS. An Nur: 19).

Ayat ini memerintahkan kita untuk menutup aib kaum Muslimin dan tidak menyebarkannya. As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Ini adalah bentuk rahmat Allah kepada para hamba-Nya yang beriman, dan bentuk penjagaan terhadap kehormatan mereka, sebagaimana terjaganya darah dan harta mereka. Dan merupakan perintah Allah kepada kaum Mukminin untuk saling mensucikan hati. Dan saling mencintai untuk terjadi pada diri saudaranya apa yang ia cintai untuk terjadi pada dirinya” (Tafsir As Sa’di, hal. 564).

Dan banyak nasehat dari para ulama agar kita berhias dengan sifat taghaful. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan:

العافيةُ عشرةُ أجزاءٍ كُلُّهَا في التَّغَافُلِ

“Keselamatan itu ada 10 cabang, semuanya didapatkan dengan taghaful” (Riwayat Al Baihaqi dalam Manaqib Imam Ahmad).

Maksudnya, dengan memiliki sifat taghaful kita akan selamat dari dosa-dosa yang terjadi karena melanggar hak orang lain. 

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan:

ما زال التغافل من فعل الكرام

Taghaful senantiasa menjadi sifat orang mulia” (Tafsir Al Biqa’i, 9/73).

Orang yang memiliki sifat taghaful akan merasakan ketenangan hidup, karena ia tidak dipusingkan dengan urusan orang lain yang tidak ada kepentingan untuk dicampuri. Sehingga ia akan sibuk dengan aib sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

مَن عرف نَفسَه اشتغل بإصلاحها عن عُيوب الناس، ومَن عرف رَبَّه اشتغل به عن هَوى نَفسِه.

“Orang yang mengenal dirinya, ia akan sibuk memperbaiki dirinya dan tidak sempat mengurusi aib orang lain. Orang yang mengenal Rabb-nya, ia akan sibuk dengan (mencari ridha) Rabb-nya, tidak sempat mengikuti hawa nafsunya” (Al Fawaid, hal. 57).

Namun sifat taghaful bukan berarti tidak menasehati orang yang keliru dan bukan berarti tidak melakukan amar makruf nahi mungkar. Orang yang mutaghafil tetap wajib memberikan nasehat dan beramar ma’ruf sesuai kemampuan. Dari Tamim Ad Dari radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنا: لِمَنْ؟ قالَ: لِلَّهِ ولِكِتابِهِ ولِرَسولِهِ ولأَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ وعامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya” (HR. Muslim, no. 55).

Namun yang tercela adalah jika berusaha mencari-cari kesalahan orang lain. Seorang penyair menyebutkan:

تغافل في الأمور ولا تُكثر    تقصيها فالاستقصاء فرقه 

وسامح في حقوقك بعض شيء    فما استوفى كريم قطُّ حقَّه

Hendaknya bersikap taghaful dalam (menyikapi) perkara-perkara

Jangan suka mencari-cari kesalahan orang lain. Mencari-cari kesalahan, inilah pembeda (taghaful yang tercela dan terpuji)

Bersikap longgarlah dalam menyikapi penunaian hakmu (yang wajib atas orang lain) di sebagian perkaranya.

Sungguh orang yang mulia tidak pernah menuntut haknya ditunaikan.

(Disebutkan Ibnu Azraq dalam Bada’i as Salak fi Thaba’i al Malak, 1/129).

Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik. 

Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wal ‘ala alihi washahbihi ajma’in.

***

Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/40886-keselamatan-dan-ketenangan-hidup-dengan-sifat-taghaful.html